Landak-Kalbar, Nusantaranews86.id – Sebagaimana dilansir dari media online lokal di Pontianak yang menyoroti kasus gugatan perkara PT. Sinar Kalbar Raya (PT SKR) melawan Menteri Lingkungan Hidup (Menteri LHK) di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta atas Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor : SK.75/Menlhk/Setjen/HPL 0/3/2021.
Putusan Majelis Hakim tersebut tertuang dalam putusan Nomor 239/G/2021/PTUN.JKT, yang digelar di Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta, Kamis, 31 Maret 2022.
“Inti dari amar putusan tersebut di antaranya mengabulkan seluruh gugatan PT SKR, dan membatalkan Surat Keputusan Menteri LKH Nomor SK.75 tanggal 21 Maret 2021 yang mengurangi luas izin usaha PT SKR, serta mewajibkan Menteri LHK untuk mencabut surat Keputusan tersebut,” kata kuasa hukum PT. SKR Damianus Renjaan melalui siaran pers yang diterima redaksi Kolase.id, Kamis, 31 Maret 2022.
Dengan demikian, lanjut Damianus, maka PT. SKR berharap agar Menteri LHK dapat segera melaksanakan isi putusan tersebut.
Selanjutnya, kata Damianus, PT. SKR akan menempuh jalur pidana atas pemanfaatan kawasan izin PT. SKR oleh PT Rejeki Kencana Prima (PT. RKP) dengan menanam sawit tanpa izin.
“Luasan izin PT. SKR yang diciutkan menteri LHK tersebut diduduki oleh PT. RKP, dan telah ditanami sawit. Di sini, kami berencana akan menempuh jalur hukum terhadap PT. RKP,” kata Damianus.
Sisi lain, pihaknya juga mengirimkan surat kepada Menteri Agraria dan Tata Ruang/BPN Rl, Kanwil Badan Pertanahan Nasional Provinsi Kalimantan Barat, dan Kantor Pertanahan Kabupaten Landak agar tidak menerbitkan sertifikat hak atas tanah kepada PT. RKP, karena PT. RKP sama sekali tidak pernah melaksanakan kewajiban yang tercantum dalam izin lokasi untuk menyelesaikan masalah tumpang tindih kawasan dengan PT SKR.
Dikatakan Damian, pihaknya juga akan mempertimbangkan untuk mengambil langkah pidana terhadap Surat Bupati Landak tanggal 10 Desember 2020 yang pada pokoknya menyatakan bahwa lahan PT. SKR dikuasai masyarakat, padahal faktanya bukan dikuasai masyarakat melainkan dikuasai oleh PT. RKP secara melawan hukum.
Sebelumnya, PT. Sinar Kalbar Raya (SKR) menggugat Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan atas penciutan izin usaha kawasan mereka, dari yang semula 38.000 hektar menjadi 31. 721 hektar.
Surat gugatan tersebut dilayangkan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, dengan register nomor: 239/G/2021/PTUN-JKT, tanggal 14 Oktober 2021 dan diperbarui tanggal 28 Oktober 2021.
Ada pun objek sengketa dalam gugatan tersebut adalah Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor: SK.75/Menlhk/Setjen/HPL.0/3/2021 tentang perubahan atas Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: SK.601/MENHUT-II/2009 tanggal 2 Oktober 2009 tentang pemberian Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Industri (IUPHHK-HTI) kepada PT. Sinar Kalbar Raya (SKR) atas areal Hutan Produksi seluas 38.000 hektar di Kalimantan Barat pada 10 Maret 2021.
“Menteri LHK dengan semena-mena menciutkan luasan izin usaha PT. SKR, dari yang semula sekitar 38.000 hektar menjadi 31.721 hektar. Artinya ada sekitar 6.000 hektar luasan izin kami hilang,” kata Damianus.
Damianus menilai, penciutan luasan izin usaha PT. SKR, yang terletak di Blok II, Kabupaten Landak, diduga berkaitan erat dengan kedudukan perusahaan sawit yang belakangan diketahui milik PT. Rejeki Kencana Prima (PT. RKP).
Menurut dia, perusahaan sawit tersebut telah ada sebelum 2013, di mana Menteri LHK menerbitkan Keputusan Nomor SK.936/Menhut ll/2013 Tentang Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan Menjadi Bukan Kawasan Hutan seluas 554.137 hektar di Kalimantan Barat.
Hal itu dibuktikan pada sidang lapangan yang digelar Jumat, 4 Februari 2022 oleh Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta di lokasi, tepatnya di Desa Pak Mayam, Kecamatan Ngabang, Kabupaten Landak.
“Di situ sangat jelas, siapa yang menduduki kawasan hak kelola kami. Ada perusahaan sawit yang usia pohon sawitnya diperkirakan lebih dari sepuluh tahun. Bukan milik masyarakat seperti yang diklaim kementerian LHK,” beber Damianus.
“Terus terang kami kaget. Dan yang membuat kami lebih kaget, tiba-tiba keluar SK penciutan izin pada Maret 2021,” bebernya.
Damianus menjelaskan, PT. SKR merupakan perusahaan yang mengantongi izin usaha pengelolaan hasil hutan kayu pada hutan tanaman industri (IUPHHK-HTI) berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 103/Kpts-II/1993 tanggal 20 Februari 2003 seluas sekitar 72.315 hektar di Provinsi Kalimantan Barat. Untuk jangka waktu 60 tahun atau sampai dengan tanggal 20 Februari 2053.
Pada tahun 2013, lanjut Damianus, Menteri LHK menerbitkan Surat Keputusan Nomor SK.936/Menhut ll/2013 Tentang Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan Menjadi Bukan Kawasan Hutan seluas 554.137 hektar, Perubahan Fungsi Kawasan Hutan seluas 352.772 hektar dan Penunjukan Kawasan Bukan Kawasan Hutan Menjadi Kawasan Hutan seluas 52.386 hektar di Provinsi Kalimantan Barat.
“Keluarnya SK perubahan peruntukan kawasan hutan, wilayah lUPHHK-HTI PT. SKR terkena dampak. Namun berdasarkan diktum ketujuh huruf d SK.936/Menhut-II/2013 tersebut, maka lUPHHK-HTI kami masih tetap berlaku sampai dengan berakhirnya izin tersebut, yakni hingga 20 Februari 2053,” kata Damianus.
Selanjutnya, pascaperistiwa kebakaran hutan dan lahan di tahun 2015, Menteri LHK mengeluarkan surat edaran, di mana dalam surat edaran tersebut menyatakan larangan untuk mengelola lahan yang di dalamnya terdapat ekosistem gambut.
Di tahun berikutnya, yakni 2017, Menteri LKH mengeluarkan peta kawasan, dan menyatakan sebagian besar wilayah Blok II milik PT. SKR, merupakan daerah gambut.
“Dengan demikian, sejak ditetapkan sebagai kawasan gambut, PT. SKR tidak melakukan aktivitas di Blok II itu,” lanjut Damian.
Di sisi lain, lanjut Damianus, ditemukan fakta, di tahun yang sama PT. Rejeki Kencana Prima (RKP) diketahui mengajukan peningkatan izin lokasi menjadi izin perkebunan ke Bappeda Kabupaten Landak.
Pada tahun 2018, Bappeda Kabupaten Landak menerbitkan rekomendasi Nomor 050/149/FISPRA-BAPPEDA/2018, tentang Kesesuaian Dengan Tata Ruang Wilayah Kabupaten Landak untuk izin lokasi usaha Perkebunan PT. Rejeki Kencana Prima (RKP).
Dalam rekomendasi tersebut, dinyatakan bahwa dari izin lokasi PT Rejeki Kencana Prima (RKP) seluas 6.274 hektar di Kabupaten Landak, terdapat tumpang tindih dengan areal izin usaha PT. SKR seluas 5.650 hektar.
Berdasarkan hal tersebut, Bappeda Kabupaten Landak merekomendasikan agar terlebih dahulu menyelesaikan izin lokasi yang tumpang tindih dengan PT. SKR dan tidak melakukan kegiatan-kegiatan yang bertentangan sebelum status areal izin diperoleh.
“Namun, sampai dengan gugatan diajukan, kami tidak pernah diundang oleh badan atau pejabat administrasi manapun terkait dengan permasalahan tumpang tindih areal tersebut. Dan secara tiba-tiba Menteri LHK menerbitkan SK penciutan izin kelola kami,” bebernya.
Damianus menegaskan, hingga dengan saat ini pihaknya secara rutin melaksanakan kewajiban pembayaran iuran dan pajak bumi dan bangunan di sektor kehutanan atas wilayah IUPHHK-HTI seluas 38.000 hektar, serta melaksanakan kewajiban lain yang disyaratkan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(HADYSA PRANA)