Pontianak, Nusantaranews86.id – Terkait dugaan oknum JPU (Jaksa Penuntut Umum) menghilangkan alat bukti persidangan (hasil visum) perkara pencabulan anak bawah umur yang berlangsung di Pengadilan Negeri (PN) Pontianak, pada Senin 16 Mei 2023 lalu, membuat orang tua korban melaporkan oknum JPU tersebut ke Jaksa Agung Muda Pengawas (Jamwas) Kejaksaan Agung Republik Indonesia.
Tidak sebatas itu, orang tua korban juga melaporkan tiga anggota Satreskrim Polresta Pontianak yang menangani perkara dianggap tidak profesional ke Bidang Profesi dan Pengamanan Polda Kalbar.
Seperti diketahui, kasus pencabulan bawah umur itu terjadi tahun 2022. Bermula korban M yang merupakan Siswi SMP di Pontianak berkenalan dengan tersangka berinisial K melalui media sosial. Dan selanjutnya mereka berjanji bertemu disalah satu hotel di Pontianak.
Ketua umum Sekretariat Nasional Komite Penegakan Pro Justitia (Seknas KPP Justitia) Chandra Kirana, S.H ketika dimintai tanggapan atas hilangnya alat bukti tersebut, mengatakan, tanggung jawab tersebut tidak sebatas Jaksa Penuntut namun atasan harus ikut dilibatkan dan tidak boleh lepas dari semua itu.
Jaksa Penuntut katanya tidak akan melakukan tindakan tanpa sepengetahuan dari atasan khususnya Kasie Pidum (Pidana Umum).
“Sebagai advokat saya sering kali melakukan koordinasi perkara dengan Jaksa Penuntut Umum dan selalu ada jawaban tergantung pada keputusan atasan, seperti Kasie Pidum,” Kata Chandra Kirana, Senin (22/05/23).
Chandra memaparkan, suatu perkara bisa dinyatakan P21, artinya bukti yang diperlukan sudah lengkap dan korban juga tahu ada divisum atau tidak. Sebab suatu perkara Asusila selain barang bukti berupa barang yang dikenakan dan tempat kejadian perkara juga harus dikuatkan melalui Visum dari rumah sakit dengan dokter ahli dibidangnya.
Kalau sampai ada dalil JPU yang mengatakan bahwa alat bukti visum tidak perlu ditampilkan maka hal ini merupakan kesalahan besar dan yang paling bertanggung jawab adalah Kasie Pidum.
Jika hilang atau sesuatu hal, maka yang lalai melakukan kontroling selaku atasan terhadap bawahannya, kenapa hal demikian bisa terjadi.
“Hasil visum adalah alat bukti yang sangat krusial untuk menguatkan tuntutan perbuatan cabul/Asusila. Sebab tanpa alat bukti visum pembuktian cabul akan menjadi prematur,” terang Chandra Kirana.
Menghilangkan atau merusak barang bukti merupakan tindak pidana yang ancaman hukumannya tidak main-main. Ketentuan mengenai perbuatan menghilangkan barang bukti diatur salah satunya di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Menurut Pasal 221 Ayat 1 angka 2 jo 231ayat 1 jo 233 KUHP, pelaku yang menghilangkan barang bukti diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan dan denda. Pasal tersebut berbunyi, “Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak Rp 4.500”
Diterangkan pula, barang siapa setelah dilakukan suatu kejahatan dan dengan maksud untuk menutupinya, atau untuk menghalang-halangi atau mempersukar penyidikan atau penuntutannya, menghancurkan, menghilangkan, menyembunyikan benda-benda terhadap mana atau dengan mana kejahatan dilakukan atau bekas-bekas kejahatan lainnya, atau menariknya dari pemeriksaan yang dilakukan oleh pejabat kehakiman atau kepolisian maupun oleh orang lain, yang menurut ketentuan undang-undang terus menerus atau untuk sementara waktu diserahi menjalankan jabatan kepolisian.
Pasal 231 Ayat 1 menyebutkan, setiap orang yang dengan sengaja menarik suatu barang yang disita berdasarkan ketentuan undang-undang atau yang dititipkan atas perintah hakim, atau dengan mengetahui bahwa barang ditarik dari situ, menyembunyikannya, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
Orang yang dengan sengaja menghancurkan, merusak atau membuat barang yang disita berdasarkan ketentuan undang-undang menjadi tidak dapat dipakai juga akan dijerat dengan pidana yang sama.
Masih terdapat pada Pasal 231, dimana, penyimpan barang yang dengan sengaja melakukan atau membiarkan dilakukan salah satu kejahatan tersebut, atau sebagai pembantu yang menolong perbuatan itu akan dijerat pidana dengan ancaman paling lama lima tahun penjara.
Namun dikatakan Chandra, jika perbuatan tersebut dilakukan karena akibat kealpaannya, maka penyimpan barang diancam dengan pidana kurungan paling lama satu bulan atau denda paling banyak Rp 1.800.000.
“Akan tetapi karena adanya statement JPU yang mengatakan alat bukti yang dimaksud tidak perlu dilampirkan, tipis kemungkinan bisa masuk dalam definisi kealpaan,” imbuh Chandra.
Selanjutnya dia menjelaskan bahwa dalam Pasal 233 KUHP berbunyi, ‘Barang siapa dengan sengaja menghancurkan, merusak, membikin tak dapat dipakai, menghilangkan barang-barang yang digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan sesuatu di muka penguasa yang berwenang, akta-akta, surat-surat atau daftar-daftar yang atas perintah penguasa umum, terus-menerus atau untuk sementara waktu disimpan, atau diserahkan kepada seorang pejabat, ataupun kepada orang lain untuk kepentingan umum, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun’.
Adapun kata Chandra apabila terjadi tindakan perusakan atau penghilangan dilakukan terhadap barang bukti elektronik, maka pelaku akan dijerat dengan UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Eletronik (ITE) sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 19 Tahun 2016.
“Tinggal dilihat pada pasal-pasal tersebut, mana yang paling relevan dengan kejadian, selain yurisprudensi keputusan Hakim pada kasus dan perkara yang sama sebelumnya”
“Hati-hati akibat dari hal demikian akan semakin menggerus kepercayaan masyarakat pada aparat dan institusi penegakan Hukum di Indonesia”
“Tindakan tegas harus dilakukan agar hal-hal demikian tidak merusak Citra Institusi penegakan hukum dimata masyarakat, hanya akibat dari ulah oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab,” pungkas Chandra Kirana.