Mempawah, Nusanataranews86.id – Kementerian Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) mengatakan pihaknya sedang berupayavmempersempit ruang gerak mafia tanah di Indonesia, dengan mempersiapkan rancangan peraturan menteri (Rapermen) tentang Pencegahan Kasus Pertanahan.
Ketika dimintai pendapat tentang rencana permen tersebut, ketua umum Seknas KPPJustitia dan sekaligus kepala Kantor Hukum Chandra Kirana Law Offices & Partner Adv. Chandra Kirana, S.H. mengatakan bahwa, semakin marak dan meningkatnya praktek Mafia tanah ditanah air dikarenakan para mafia tanah berlindung dibalik penegakan hukum dan peraturan-peraturan seperti halnya Peraturan Pemerintah (PP) 18 tahun 2021 yang memberi ruang bagi mafia tanah untuk merampas tanah milik masyarakat.
Misalnya Peraturan Pemerintah (PP) dengan Nomor 18 Tahun 2021, mengatur bahwa eigendom verponding sudah tidak bisa dipakai sebagai hak atas tanah.
“Bahwa eigendom verponding bukan menjadi alas hak lagi. Tapi alat penunjuk saja,” kata pengacara yang sering membantu masyarakat tidak mampu ini, hak tanahnya dirampas mafia tanah.
Perlu diketahui, pemerintah Indonesia, yakni pada tahun 1960 sempat memberi kesempatan pada para pemilik tanah berstatus eigendom. Selambat-lambatnya dapat dikonversi pada September 1980. Konversi tersebut guna memindahkan status kepemilikan lahan, yang semula berstatus Hindia-Belanda menjadi sesuai dengan produk hukum agraria Indonesia.
“Jadi, sudah tidak berlaku lagi, karena, sudah menjadi tanah negara. Artinya, siapa yang menguasai fisik, dengan sejumlah syarat, dia yang bisa memohon,” tutur Candra Kirana, Senin (11/09/23).
Menurut Candra, permasalahannya saat pemilik tanah dengan alas Hak eigendom Verponding dimasa pemerintahan Orde baru justeru dipersulit saat hendak melakukan konversi hak kepemilikan tanahnya pada saat itu, karena tanah-tanah eigendom Verponding banyak yang dirampas oleh pemangku kekuasaan dan bahkan oleh anak dan keluarga penguasa kala itu.
Pemilik dan ahli waris diancam dan diintimidasi. Keterbatasan keuangan dan financial menjadi kendala selain intimidasi dan ancaman yang dilakukan penguasa dizaman orde baru.
Mafia tanah bukan dilakukan masyarakat awam, namun pelakunya merupakan orang-orang kuat secara ekonomi dan bahkan punya pengaruh besar untuk melakukan intervensi penegakan hukum dan kebijakan politik dinegeri ini.
“Jadi kita lihat saja semakin meningkatnya praktek mafia tanah di Indonesia yang merampas hak rakyat, seharusnya pemerintah menyatakan darurat agraria dan tegas melakukan reformasi menyeluruh mulai dari kantor-kantor BPN/ATR,” ucap Chandra.
“Diduga banyaknya oknum dari dalam yang bermain mata dan kongkalikong dengan mafia tanah yang bekerja sama dengan oknum lintas Instansi yang merampas hak milik rakyat,” tambahnya.
“Dispensasi dan kebijakan harus diberikan pada rakyat yang memiliki tanah dan tidak mampu membiayai pengurusan kemilikan tanahnya yang luas, seharusnya kata dia dapat dicarikan solusi agar Hak masyarakat yang tidak mampu tersebut dapat memperoleh haknya secara hukum dan negara juga tidak dirugikan dan ada pemasukan, hal ini yang harus dipikirkan.
Kalau tidak tentunya mafia tanah akan memanfaatkan hal seperti ini untuk merampas tanah-tanah milik masyarakat.
Mafia tanah punya kekuatan financial untuk mengerahkan orang-orang menguasai tanah rampasan masyarakat tidak mampu, yang menjadi alasan kuat untuk mengajukan permohonan hak atas kepemilikan tanah.
Dimana oknum kepala Desa/Lurah, oknum notaris, oknum pengacara, Oknum Politisi dan oknum penegak hukum diajak bekerjasama untuk melakukan kriminalisasi ketika pemilik lahan berupaya mencari keadilan melalui jalur hukum.
“Hal ini seharusnya menjadi pertimbangan yang penting bilamana kementerian Agraria Tata Ruang/Badan Pertanahan hendak mengeluarkan Peraturan Menteri(Permen) untuk mengatasi Hak tanah masyarakat yang dirampas oleh mafia tanah,” Tegas Chandra Mengakhiri.