Mempawah, Nusantaranews86.id – Melalui hubungan telepon seluler ketika dimintai tanggapan perihal salah seorang warga Desa Penibung, Kecamatan Mempawah Hilir, Kabupaten Mempawah, menggarap tanah negara mencapai ribuan hektar, Tenaga Ahli Profesional Kantor Staf Presiden Yanes Y Frans mengatakan, inilah sebuah fakta bahwa di Kalimantan Barat, khususnya di Mempawah. Sudah memasuki darurat akut Agraria.
Dimana menurutnya para mafia pelaku kejahatan Agraria di Kabupaten Mempawah, sudah tidak lagi melihat siapa yang mereka mangsa dan dijadikan korban bahkan tanah dalam kekuasaan negara.
Mereka para Mafia Tanah terindikasi berkolaborasi dengan Kepala Desa/Kades, bahkan sampai melakukan tindakan melawan hukum untuk menerbitkan surat pernyataan kepemilikan tanah.
Permasalahan ini kata Yanes harus dapat dilakukan tindakan tegas dan konkrit dari Aparat Satgas Mafia Tanah, terhadap mafia yang sangat merugikan masyarakat tersebut.
“Saya sudah sering menerima pengaduan rakyat dan turun langsung melihat kelapangan seperti halnya beberapa waktu saya sempat turun ke Desa Peniti Dalam 1, Kecamatan Segedong, Kabupaten Mempawah, dan melihat langsung bagaimana para mafia mengabaikan hukum yang ada dinegeri ini dan menganggap aparat penegak hukum dan pemerintah sudah tidak ada, sehingga seenaknya mereka mengambil dan merampas Hak Masyarakat”, kata Yanes, Selasa (29/08/23).
Sementara Ketua Umum Seknas KPP Justitia Chandra Kirana, SH yang juga Pengacara/Advokat nasional mengatakan, UUPA mengatur hak atas tanah memiliki fungsi sosial (Pasal 6). Hal ini menunjukan sifat sosialisme dari Undang Undang ini. Oleh karena itu, segala hal atas tanah dapat di cabut oleh negara untuk kepentingan umum, bangsa dan negara dengan ganti rugi yang layak menurut Undang Undang (Pasal 18).
Menurut UU Pokok agraria pemilikan dan penguasaan tanah melampaui batas tidak diperkenankan.
“Sedangkan Pasal 17 memerintahkan agar pembatasan tersebut, diatur. Maka lahirlah Perppu Nomor 56 Tahun 1960 yang kemudian disahkan menjadi Undang Undang,” sebut Chandra.
Berdasarkan ketentuan ini, seseorang atau satu keluarga hanya diperbolehkan menguasai tanah pertanian maksimum 20 hektar, tanpa melihat apakah merupakan sawah atau tanah kering. Kalaupun boleh kata Chandra, tidak lebih dari jumlah itu, hanya dapat dibenarkan tambahan 5 hektar atas dasar keadaan daerah yang sangat khusus.
Orang atau keluarga yang memiliki lahan melebihi batas 20 hektar harus melapor ke badan pertanahan/agraria. Perpindahan hak atas tanah tersebut harus seizin badan pertanahan setempat jumlah yang dipindahkan haknya pun tak boleh dari 20 hektar. Kalau dalam pengalihan itu terjadi tindak pidana, maka sesuai ketentuan Pasal 10 ayat (3) dan (4) UU No 56/ Prp/1960, pengalihan itu batal demi hukum. Konsekwensinya tanah tersebut diambil alih/jatuh kepada negara.
“Jadi tidak salah bilamana dalam penguasaan tanah yang dimaksud sesuai mekanisme peraturan dan perundang-undangan yang berlaku. Tentunya akan menjadi permasalahan yang serius bilamana proses penguasaan tanah tersebut tidak melalui proses mekanisme dan ketentuan peraturan perundang-undangan,” pungkasnya.