Ketapang, Nusantaranews86.id- Kepala Divisi Kajian dan Kampanye Walhi Kalbar, Hendrikus Adam menilai jika aktivitas pengerukan pasir di wilayah Pulau Gelam Kendawangan Kabupaten Ketapang-Kalbar tetap dilakukan maka berpotensi menyebabkan kerusakan serius terhadap ekosistem hingga tenggelamnya wilayah daratan pulau sekitar.
Adam menyebutkan hal tersebut terjadi karena daratan berpasir yang dikerok akan mengalami penurunan jumlah volumenya karena material pasir sekitarnya yang akan terus diambil dan diangkut.
“Sementara seringkali praktik eksploitasi semacam ini tidak dibarengi dengan reklamasi oleh pemilik usaha, sehingga tidak ada jaminan bahwa eskosistem yang dibuka akan dipulihkan pada kondisi semula,” katanya Sabtu (17/06/23).
Selain itu, Adam berpendapat bahwa aktivitas eksploitasi pasir juga akan berpotensi menyebabkan dampak lingkungan lainnya berupa perubahan bentang alam daratan sekitar yang akan lebih mudah mengalami abrasi.
Sementara keberadaan biota laut juga akan terganggu seiring dengan penurunan kondisi kesehatan sungai/laut yang pada akhirnya berpengaruh pada hasil tangkap nelayan.
“Untuk itu, upaya eksploitasi melalui pengerukan pasir pada wilayah sekitar pulau Gelam harusnya tidak dibiarkan. Karena bukan hanya mengancam ekosistem sekitar dan akses nelayan pada hasil tangkap laut, tetapi juga mengancam keselamatan keutuhan wilayah NKRI sebagai pulau kecil yang dilindungi pemerintah,” tegasnya.
Adam mengaku, sebagai wilayah konservasi perairan yang ditetapkan pemerintah, mestinya ruang eskploitasi tersebut tidak dibiarkan terjadi. Karena bila terus berlanjut, maka ini berarti ada kesan pembiaran yang dilakukan.
Pihak pemerintah pusat melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan mesti bertanggungjawab dalam memastikan keselamatan wilayah pesisir dan pulau kecil yang telah ditetapkan sebagai area dilindungi sebagaimana di Pulau Gelam Kendawangan sekitarnya untuk tidak semaunya dieksploitasi.
“Masyarakat harus melakukan pengawasan langsung dan menyampaikan keberatan kepada pihak terkait agar ditindaklanjut, serta harusnya perusahaan juga menjelaskan keberadaanya ke Pemda dan Provinsi sebab lokasi usaha mereka yang berada di wilayah administrasi kabupaten dan provinsi, maka logikanya sepengetahuan pihak terkait”
“Sejauh mana peran dan keterlibatan pemerintah daerah terkait dengan praktik penambangan ini perlu dijelaskan, agar publik memahami dasar legitimasi dari usaha tersebut,” tandasnya.
Script Analisis Hukum Lembaga TINDAK Indonesia
Yayat Darmawi, SE, SH, MH koordinator TINDAK saat dimintai statementnya via WhatsApp mengatakan secara Yuridis telah disebutkan pada pasal 111 ayat (1) UU PPLH Pejabat Pemberi Izin Lingkungan yang menerbitkan izin lingkungan tanpa dilengkapi dengan Amdal atau UKL-UPL sebagaimana dimaksud pasal 37 ayat (1) Dipidana Penjara Paling Lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 3.000.000.000 ( tiga miliar rupiah ).
Apabila pasal ini dijadikan acuan kata Yayat, maka pelanggarannya sudah tidak menjadi alasan lagi bagi APH untuk memproses secara Hukumt oknum pihak pemerintah yang terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung.
Penegakan Hukum Di Ranah Pelanggaran Lingkungan memang mesti menjadi Atensi Khusus oleh APH karena Pelanggarannyapun mesti di laksanakan secara Pidana Khusus.
“Namun sayang jika dilihat penegakan supremasi hukum di ranah pidana pada Pelanggaran Kejahatan Lingkungan, terlihat masih Pilah,” ucap Yayat.
Stagnansinya Gakum yang Melekat di Penyidik PPNS kata Yayat, mesti sinergis dengan Aparat Kepolisian dalam melakukan Law Enforcement Pidsus terhadap Pelanggaran Kejahatan di Lingkungan.
“Karena kalau tidak sinergis, maka pemberantasannya hanya slogan saja. Contohnya dikalimantan Barat ini, banyak sekali terjadi yang serupa.
“Seperti, dKabupaten Sambas dan Kabupaten Kubu raya, disaat Hutan Kawasan dibabat secara illegal namun Tindakan Hukumnya lemah alias menunjukan ketidak-berdayaan sama sekali,” ungkap Yayat.