JAKARTA – Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti menegaskan komitmennya untuk memperjuangkan pengembalian kedaulatan rakyat. Ia menegaskan UUD 1945 naskah asli adalah solusi.
“Saya tegaskan, konsep asli demokrasi Indonesia adalah adanya wadah yang utuh bagi seluruh elemen rakyat, sebagai lembaga tertinggi, itu wujud kedaulatan. Karena itu, sistem asli Indonesia harus dikembalikan,” tegasnya.
Hal itu disampaikan LaNyalla saat bertemu dengan sejumlah aktivis, ekonom dan elemen civil society lainnya di Ruang Delegasi DPD RI, Gedung Parlemen Jakarta, Rabu (20/7/2022).
Hadir dalam pertemuan antara lain Anthony Budiawan, M Hatta Taliwang, Lius Sungkharisma, Ariady Ahmad, HM Gamari, Ichsanoedin Noorsy, Sarman, M Yasin K, dr. Zulkifli Eko Mei, Yamin Tawari, Andrianto, Hendry Harmen, Wahyono, John Mempi dan Syahganda Nainggolan.
Ketua DPD RI didampingi Senator asal Sulawesi Selatan Tamsil Linrung, Bustami Zainudin (Lampung) dan Fachrul Razi (Aceh). Ikut mendampingi Staf Khusus Ketua DPD RI Sefdin Syaifudin, Togar M. Nero dan Brigjen Pol. Amostian.
LaNyalla menyampaikan proses bagaimana mengembalikan kedaulatan rakyat kepada rakyat sudah dijalankan sejak dirinya dilantik sebagai ketua DPD RI. Antara lain dengan berkeliling ke seluruh Indonesia dan akhirnya mendapatkan kesimpulan terjadi banyaknya penyimpangan dan persoalan yang bermuara di konstitusi.
“Awalnya prosesnya memang tidak ujug-ujug harus kembali ke UUD 45. Saat itu saya menggagas wacana Amandemen Konstitusi ke 5. Kemudian dalam perjalanannya melakukan gugatan PT 20 persen,” katanya.
“Yang ingin saya tegaskan di sini bahwa langkah-langkah tersebut perlu dilakukan agar rakyat memahami persoalan yang fundamental. Kemudian resonansinya meluas. Makanya saya mengajak elemen civil society menjelaskan ke rakyat, bahwa mereka yang mempunyai negara. Rakyat yang harus tunjuk pemimpin, bukan disodorkan oleh partai politik baru rakyat diminta memilih,” imbuh dia.
Rakyat, itu harus diwujudkan dengan representasi yang utuh. Ada unsur partai politik, ada unsur utusan daerah, ada unsur golongan-golongan dan ada unsur TNI dan Polri. Mereka ini, lanjut LaNyalla, ada di dalam Lembaga Tertinggi negara. Inilah sistem Indonesia, yang dirancang para pendiri bangsa, tambahnya.
Ditambahkan oleh LaNyalla, dirinya berjuang bukan untuk diri sendiri atau membela kelompok. Tetapi menurut LaNyalla dia berjuang murni untuk generasi yang akan datang.
“Bagaimana agar anak cucu kita bisa sejahtera. Itu tujuan kita. Allah akan ridhoi tujuan orang yang berjuang secara lurus. Bukan soal ingin jadi Presiden. Soal presiden itu soal garis tangan. Tugas kita adalah sampaikan kepada rakyat bahwa merekalah yang punya negara ini. Insya Allah negara ini bisa lepas dari oligarki. Jadi saya bicara konstitusi ini untuk membela rakyat,” papar dia.
LaNyalla juga mengungkap, dirinya akan terus melakukan safari kedaulatan rakyat dengan menemui semua tokoh dan pimpinan di negara ini. Di sisi lain, dirinya tetap membuka diri untuk bertemu semua elemen masyarakat.
“Sebagai ketua Lembaga Negara, saya akan menemui satu per satu tokoh, baik di lingkungan Lembaga Negara, maupun Tokoh Masyarakat dan Pimpinan Ormas. Di sisi lain, saya terus membuka diri untuk bertemu semua elemen civil society,” pungkasnya.
Aktivis Ariady Ahmad dalam kesempatan itu menyampaikan apresiasi langkah Ketua DPD RI yang melakukan safari kedaulatan rakyat ke lembaga tinggi lain, seperti yang sudah dilakukan dengan menemui Ketua Mahkamah Agung RI.
“Apa yang dibangun dengan safari kedaulatan rakyat, misalnya bertemu Ketua MA, merupakan langkah yang elegan. Hal itu sebagai sebuah sinyal agar masyarakat tahu kondisi obyektif yang terjadi saat ini,” ucap dia.
Sementara itu Hatta Taliwang lebih menekankan pada kondisi saat ini yang sebenarnya rakyat sudah tidak sabar. Mereka ingin adanya perubahan. Makanya rakyat pada dasarnya ingin action dari para elit dan civil society agar bangsa ini lepas dari krisis.
Ichsanoedin Noorsy berbicara tentang kondisi ekonomi bangsa. Dimana problemnya adalah kegagalan fiskal. “Kebijakan yang diambil pemerintah sejauh ini tidak meningkatkan daya beli masyarakat. Kemudian justru hal itu berpotensi pada pemiskinan secara struktural,” katanya.
Sedangkan Anthony Budiawan, menyorot daya beli yang ambruk karena APBN tidak berfungsi memberi stimulus. Langkahnya adalah BLT. Tetapi semakin lama semakin tidak mandiri dalam segi produksi. “Pada akhirnya kita akan jadi kuli di negeri sendiri apa yang dikatakan Bung Karno,” ujar dia.
Syahganda Nainggolan menginginkan agar banyak elemen dengan berbagai agenda perubahan bagi negeri ini bisa disatukan. Karena langkah perubahan berkejaran dengan situasi politik yang terjadi.
“Saat ini gerakan di masyarakat antara lain sibuk perjuangkan PT 0 persen, sibuk soal Islamophobia, kemudian yang buruh sibuk demo Omnibus Law, ada yang soal RKUHP, sibuk ngurus Oligarki, juga sibuk usung kembali ke UUD 1945. Ini yang harus dikoordinasikan dengan baik supaya terjadi perubahan,” tukasnya.
Sementara Fachrul Razi, Ketua Komite I DPD RI mengatakan ada domain yang bisa dijalankan oleh DPD RI yang kemudian ketemu di titik yang sama dengan perjuangan para aktivis. Karena jika dimuarakan, persoalan yang mendasar adalah sistem bernegara asli Indonesia yang belum pernah diterapkan dengan murni.
“DPD RI lahir oleh UUD hasil amandemen di tahun 2002. Semua lembaga negara yang dilahirkan oleh UUD 2002 itu merasa menikmati hal itu. Tetapi bukan berarti hal itu membuat DPD RI berada di comfort zone,” tegasnya.
LaNyalla, lanjut Fahrul Razi, menyadarkan kepada anggota DPD RI bahwa terjadi kerusakan fundamental di negeri ini. Banyak kepentingan yang menguasai negeri ini. “Sehingga kemudian semua anggota DPD RI menjadi sadar betul bahwa yang bisa menjawab persoalan itu adalah kembali ke UUD 1945 naskah asli untuk kemudian diperbaiki dengan cara yang benar,” ungkapnya.(*)
Penulis Devri Susanto