Tangerang, nusantaranews86.id – Juris Polis Institute adakan diskusi dalam Program Ngopi Seruput (ngobrol JPI Seputar akar rumput) yang mengangkat tema tentang “Memilih Sistem Pemilu Untuk Indonesia: Proporsional Tertutup atau Terbuka” ? yang diadakan melalui virtual zoom pada Minggu, 11 Juni 2023.
Diskusi tersebut menghadirkan narasumber yang juga merupakan seorang guru besar hukum tata negara dari fakultas hukum UII Prof. Dr. Ni’matul Huda, S.H.,M.Hum. dan di moderatori oleh Siti Nur Halimah, S.H selaku Direktur Penelitian dan pengembangan Hukum Juris Polis Institute. Adapun peserta pada diskusi tersebut berasal dari berbagai kalangan baik Akademisi, Praktisi dan pemerhati hukum, hingga mahasiswa.
Dalam pemaparanya Prof. Ni’matul Huda menyebut bahwa konstitusi memberi bingkai letak kedaulatan rakyat itu didahulukan daripada kedaulatan hukum sebagaimana ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945.
“pasal 1 ayat (2) UUD NRI tahun 1945 jelas mengatakan bahwa kedaulatan berada ditangan rakyat, baru setelah itu mengenai Indonesia sebagai negara hukum dimuat dalam ayat (3) yang artinya perjuangan untuk memperdebatkan tentang konstitusi di awal kemerdekaan itu lebih dulu dibahasnya adalah mengenai daulat rakyat, bagaimana menempatkan daulat rakyat sesuatu hal yang sangat dipentingkan.
Namun mengenai negara hukum baru muncul setelah amandemen, sehingga apabila melihat konteks mengenai sistem pemilu terbuka atau tertutup maka dikembalikan ke daulat rakyat setelah itu baru dibuat bingkai hukumnya sesuai dengan keinginan rakyatnya”. Tuturnya.
Saat ditanya mengenai latar belakang mengapa pada akhirnya Indonesia beralih pada proporsional terbuka setelah sebelumnya sempat menggunakan sistem proporsional tertutup. Prof Ni’matul pun menjelaskan bahwa, pada saat itu ketua partai tidak begitu dominan berbeda halnya dengan sekarang dimana partai politik sudah seperti industri atau perusahan keluarga yang bisa diturunkan.
Prof Ni’matul pun menilai bahwa jika kembali pada proporsional tertutup kita tidak tahu apa yang dilakukan para elit partai politik dalam hal ini ketua partainya, rakyat pun tidak tahu siapa wakilnya sebab tidak dapat memilih wakilnya sendiri, apakah partai politik dapat dipercaya akan menghadirkan calon-calon yang terbaik direpublik ini atau justru terbaik dimata pimpinan partai saja, yang ditakutkan adalah justru akan terjadi pelanggengan kekuasaan yang luar biasa.
Proporsional terbuka saja masih banyak keluhan masyarakat terhadap wakil-wakilnya yang dinilai hanya menyuarakan kepentingan partai bukan kepentingan rakyat, namun setidaknya proporsional terbuka, rakyat dapat memverifikasi calon wakilnya serta melihat track recordnya.
Namun terlepas proporsional terbuka maupun tertutup Prof. Ni’matul juga mengingatkan bahwa pembahasan jangan hanya sekedar soal terbuka dan tertutupnya, tapi perlu ada pembenahan yang lain salah satunya perbaikan partai politik.
“Bagaimanapun partai politik harus terbuka dan demokratis artinya tidak menjadi partai keluarga atau industri keluarga tapi jadikan partai politik milik masyarakat yang memang memiliki kesamaan ideologi, serta visi untuk memperjuangkan sesuatu.
Partai politik harus mulai berani membuka dan mengkritik dirinya sendiri untuk tidak menjadi dominan elitnya, misalnya selama ini calon kepala daerah harus minta restu ke ketua politiknya mengapa tidak ke DPW nya saja, apalagi manakala ada calon kepala daerah yang di ambil dari daerah lain, Pertimbangan ini menjadi sangat subjektif.
Selain itu keuangan partai politik juga harus terbuka, sumber nya dari mana berapa banyaknya. Serta bagaimana parpol melakukan pola kaderisasi, jangan hanya mengambil orang yang berduit untuk kepentingan parpol tanpa melihat apakah yang bersangkutan punya jam terbang tentang politik, tentang kepemerintahan, tentang demokrasi, tentang manajemen wilayah. Sehingga banyak hal yang harus dibenahi dari sistem pemilu, sebab percuma mau sistem proorsional tertutup atau terbuka apabila partainya tidak dibenahi”. Terangnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Athari Farhani mengatakan bahwa pihaknya akan terus konsisten memberikan edukasi melalui Ngopi Seruput kepada masyarakat terhadap berbagai persoalan dan issue-issue yang sedang menjadi perhatian publik, sebab Juris Polis Institute merupakan platform anak muda yang wajib memberikan pencerahan kepada masyarakat luas, apalagi ini menyangkut mengenai pemilu yang memilki dampak langsung kepada masyarakat.
“Juris Polis Institute sebagai lembaga hukum dan kebijakan publik yang berisikan anak-anak muda sbg kaum akademisi dan intelektual dibidang hukum memiliki kebebasan akademik untuk terus memberikan pemahaman serta pencerahan kepada masyarakat luas terhadap berbagai persoalan dan issue yang sedang hangat di akar rumput ataupun yangs sedang mnjd perhatian publik saat ini.
Kita pahami bersama bahwa, berbicara maupun berekpresi harus menjadi oksigen dalam lingkungan intelektal, sebab hanya dengan itu kebebasan dan kesetaraan dapat ditegakan serta dialektika dalam demokrasi bisa tetap berjalan”
“Berbicara demokrasi, maka tidak terlepas dari sebauh sistem pemilu, karena pemilu berdampang langsung kepada masyarakat sebagai pemegang kedaulatan, dan tentu hal ini patut untuk disikapi bersama, sebab pemilu menjadi awal untuk menentukan kemana arah bangsa selama 5 tahun kedepan”
Pasca diskusi Juris Polis Institute juga akan membuat pernyataan sikap akademik sebagai bentuk tanggungjawab dalam merespon issue dan persoalan mengenai sistem pemilu.
“Juris polis institute berencana akan membuat pernyataan sikap akademik sebagai bentuk respon terhadap issue yang kami angkat dan nantinya akan kami posting di instagram agar dapat dibaca oleh masyarakat luas, dan mungkin juga ada surat terbuka yang kami kirimkan kepada pemangku kebijakan, mungkin isinya sebuah usulan dan masukan dari kami, harapanya adalah apa yang kami usulkan nantinya dapat menjadi pertimbangan bagi mereka, setidaknya kami sebagai anak muda punya peran dalam perbaikan sistem ketatanegaraan Indonesia yang jauh lebih baik dalam hal ini menyangkut persoalan pemilu”.