Pontianak, Nusantaranews86.id – Memasuki menjelang Pemilu, Para Calon Kepala Daerah atau anggota Legislatif akan mengumbar janji manis kepada masyarakat pemilih. Tidak jarang juga sebagian dari mereka menebar amplop berisikan uang atau paket sembako padahal sebelum-sebelumnya mereka tidak pernah melakukannya.
Secara sengaja dan sadar mereka telah melakukan politik uang, sebuah praktik koruptif yang akan menjadi pembuka jalan ke berbagai jenis korupsi lainnya.
Seperti politik uang yang familiar kita dengar dan kenal dengan istilah money politic.
Terkait hal diatas Chandra Kirana, S.H selaku Ketua Umum Seknas KPP Justitia menuturkan.” Money Politik adalah sebuah upaya mempengaruhi pilihan pemilih (voters) atau penyelenggara pemilu, dengan imbalan materi atau iming-iming janji manis. Dari pemahaman tersebut, politik uang adalah salah satu bentuk praktek suap yang dilakukan sebagian peserta kontestasi pemilu”.
“Praktek demikian pada akhirnya melahirkan pemimpin-pemimpin yang hanya peduli kepentingan pribadi dan golongan, bukan mengedepan masyarakat yang memilihnya,” sebut Chandra.
Tambah CK.” Namun setelah menjabat, dia akan melakukan berbagai upaya kecurangan, manipulasi, menerima suap, gratifikasi atau korupsi dengan berbagai cara untuk mendapatkan kembali modal yang dikeluarkan dan mencari cara agar mendapatkan modal dalam mempersiapkan pencalonan berikutnya,” kata CK.
“Tidak heran jika politik uang disebut sebagai induk dalam korupsi (“mother of corruption”),karena melalui politik uang telah melahirkan pemimpin yang koruptif. Bukan melahirkan pemimpin aspiratif dari aspirasi pemilih secara murni”.
“Artinya politik uang menjadi kekuatan yang memiliki daya perusak sistem sosial dan politik yang sangat berbahaya bagi nilai moral demokrasi suatu bangsa. Tidak hanya dilihat dari kepentingan pemberi suap semata dan keuntingan penerima suap dalam jangka pendek, tapi juga kepentingan masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara”.
Apakah masih relevan berteriak dan memaki-maki pemimpin dan anggota legislatif yang saat menjabat melakukan praktek korupsi,serta tidak berbuat untuk masyarakat…???.
Tentunya,masyarakat tidak lagi punya hak untuk bersuara dan protes,karena pada saat mereka kampanye dan belum menjabat,sudah membayar lunas didepan dan sudah diterima oleh masyarakat.
Artinya Masyarakat sudah memberi restu pada mereka untuk menjadi pemimpin daerah dan anggota legislatif yang koruptif dan melakukan praktek korupsi pada saat terpilih dan menjabat,” tutur Chandra.